Kamis, Oktober 01, 2009

Istana Pasir

Pagi mulai beranjak siang saat Pak Tua kedatangan anaknya dari kota. Ditangan kirinya masih tersampir jala yang sedang diperbaiki. Tangan kanannya masih sibuk menelisik jelujur benang nylon, menyusuri sisi-sisi yang koyak dari jala miliknya. Sinar matahari pantai yang datang, sedikit terhalang lelaki yang tegak berdiri. Wajah Pak Tua itu pun menengadah, memandang sorot lelah dari kedua mata anaknya.

''Ada apa?'' tanyanya pelan. ''Hidupku suram, Ayah.'' Mata si anak nanar.''Usahaku baru saja gagal, dan keluargaku tak lagi membuatku bahagia.'' Sang Ayah mengerti situasi semacam ini. Segera diletakkannya jala dan kelosan benang. ''Bagaimana kalau kita berjalan-jalan di pantai? Sang Ayah berusaha tersenyum, ''Sudahlah, ayo, matahari pantai pasti akan membuatmu cerah.'' Lelaki itu menurut. Wajahnya menoleh ke samping saat sang Ayah menepuk-nepuk punggung. Ia juga berusaha tersenyum.



Pantai mulai ramai saat mereka mulai berjalan. Anak-anak bermain dengan sekop dan ember, membentuk istana-istana pasir dengan tangan mereka. Wajah-wajah yang ceria, membuat mereka tampak lebih lucu. Di sebelah kanan, ada pekik gembira dari anak lainnya yang berkejaran menantang ombak. Mereka meloncat-loncat berusaha menghindari buih yang datang dengan tiba-tiba. Kaki-kaki kecil itu membentuk tapak-tapak yang berbaris di atas pasir pantai. Matahari yang mulai terik tak lagi di hiraukan. Anak-anak itu tetap larut dengan kebahagiaan masa kecil yang hadir seakan tak akan berakhir.



Pasangan ayah dan anak itupun memperhatikan semuanya. Mata mereka tak lepas dari pemandangan yang ada disana. Namun, sang anak tetap hadir dengan tatapan yang kosong. Sang Ayah paham, ia lalu membuka suara ''Ingatkah kamu saat masih kecil dulu? Pertanyaan itu dijawab pelan, ''Ya Ayah. Kenapa?'' Tangan Ayah mengajak mereka menuju sebuah pohon nyiur. Kemudian, duduklah mereka diatas sebuah pelepah kering yang ada disana. ''Ya, tentu kamu masih ingat. Seperti anak-anak itulah kamu saat itu. Riang, gembira, dan bahagia. Tak peduli kulitmu menghitam, dan badanmu menggigil kedinginan. Kamu tetap berlari bersama ombak dan membuat istana-istana pasir.''



''Cobalah, simak mereka lebih dekat. Lihat sekeliling kita.'' Keduanya menerawang. ''Apakah udara yang kita hirup ini berbeda dengan dihirup oleh anak-anak itu? Apakah sinar matahari yang terkena di kulit kita ini tak sama dengan yang menimpa tubuh mereka? Tapi mengapa engkau begitu murung, sedangkan mereka tidak? Mengapa mereka bisa berwajah cerah sedangkan kamu tidak? Ya. Kita hidup pada matahari yang sama, udara yang sama, dan pasir yang sama, tapi mengapa ada yang bisa memandangnya dalam situasi yang berbeda?



''Lihatlah mereka. Lihat istana-istana pasir yang mereka buat. Bukankah buih-buih itu selalu melenyapkan istana-istana itu? Bukankah menara-menara pasir itu selalu tumbang dihantam ombak? Bukankah air laut selalu datang merusakkan segalanya? Tapi, apakah mereka berhenti mengayuhkan tangan untuk membangunnya kembali? Tidak. Apakah mereka menyerah untuk menyusunnya kembali? Tidak. Anak-anak itu pasti akan kembali mengumpulkan pasir dan membentuknya menjadi bangunan baru. Mereka akan terus menata, menyusun, dan mendirikan istana-istana yang baru, menara-menara yang baru, dan bangunan-bangunan yang baru.'' Air muka sang anak mulai cerah. Ayah melanjutkan, ''Ayolah, kembalikan ingatan masa kecilmu. Buat kembali istana-istana dan menara-menaramu kembali...''



Mereka tersenyum. Mereka mulai menyusuri pantai kembali. Mereka mungkin tak lagi muda, tapi lihatlah, keduanya kini berkejaran bersanding dengan ombak. Langkah kaki keduanya berpacu saling bersicepat. Ah, tubuh tua itu kalah sigap. Tubuhnya kini mulai bergerak keatas, dan digendong anak lelakinya dari belakang. Keduanya tertawa lepas, dan terjatuh bersama. Tubuh mereka basah dengan air laut, wajah dan kaki mereka penuh dengan pasir. Buih-buih terlihat seperti perak yang terhampar. Keduanya tampak seperti anak-anak kecil yang ada disana. Mereka tampak bahagia.



***



Teman, dimanakah kita semua hidup? Bukankah kita punya banyak persamaan? Ya, kita menjejak pada bumi yang satu, bernaung pada langit yang sama, menghirup udara yang sama, dan mereguk air yang sama. Tapi, mengapa ada orang yang melihatnya dalam situasi yang berlainan. Mengapa ada orang-orang yang bahagia, bersandingan dengan orang yang muram, mengapa ada orang yang gembira, beriringan dengan orang yang sedih hatinya?



Saya tidak sedang membuat suatu generalisasi pada semua hal. Namun, tidakkah kita bisa mengambil sesuatu dari sana? Ada kenyataan bahwa terkadang suatu hal dipandang baik atau buruk, bukan karena penampakannya. Tapi, kita menciptakan sesuatu itu baik atau buruk, bahagia atau tidak bahagia dari pikiran kita sendiri. Pikiran kita sendirilah yang kadang mencuri bahagia yang Allah berikan. Benak kita sendirilah yang kerap menyorongkan kesedihan yang berlarut.



Saya sering merasa iri kepada anak-anak menyusun istana pasir di pinggir pantai. Mereka tak pernah lelah. Mereka tak pernah berhenti mencipta. Tawa mereka selalu merekah, binar mata mereka tak pernah hilang dari wajah. Buih, terik matahari, ombak dan air laut, tak pernah dihiraukan. Semua itu tak akan membuat mereka jeri untuk membuat istana-menara-dan-bangunan pasir. Mereka baru berhenti saat senja menjelang, atau saat orangtua mereka memanggil. Tidakkah kita bisa mengambil sesuatu dari sana?



Teman, cobalah bangkitkan ingatan masa kecil kita saat kita merasa sedih. Jadilah mereka yang selalu optimis memandang hidup, yang selalu memenuhi hari-hari dengan rasa bahagia. Jadilah mereka yang tak pernah lelah menyusun dan mencipta istana-istana pasir di pinggir pantai. Jadilah mereka yang bisa tersenyum gembira, bermain bersama buih, berkejaran bersama ombak, bercengkrama bersama hewan-hewan kecil dan daun-daun. Tidakkah kita bisa mengambil sesuatu dari sana?

0 Responses to “ Istana Pasir ”

Posting Komentar

Jangan Lupa Komentarnya, mohon jangan spam karena akan saya hapus! Dan tunggu komentar balik dari saya