Kamis, Oktober 01, 2009

Subhanaalloh Anak itu ...

Stasiun Pasar Minggu, 07.10 WIB. Seperti biasa kereta Jakarta-Bogor yang saya tumpangi berhenti di peron jalur dua. Segera setelah itu hiruk pikuk mewarnai suasana, ada yang naik ada yang turun...

Tiba-tiba, seisi gerbong dibuat takjub dengan pemandangan luar biasa yang kami saksikan pagi itu. Bahkan Bapak yang jadi menawarkan bangku disampingnya pada saya, sampai harus memutar kepalanya demi melihat peristiwa itu lebih jelas. Demikian juga halnya dengan orang-orang yang ada di luar.

Ya, kami semua terpukau dengan munculnya sebuah keluarga yang terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang anak perempuan berjalan saling berbimbingan tangan menyusuri pinggir peron. Mereka semua buta, kecuali anak perempuannya yang masih kecil (kira-kira 7 th.) Sang ayah berjalan memimpin di depan dengan tongkatnya. Ia berkopiah hitam, berkoko putih serta menyandang tas yang ia selempangkan dipundaknya. Si Ibu bergamis lebar warna ungu lengkap dengan jilbab. Sedangkan si anak, berpakaian batik seragam TPA dengan tas ransel di punggung.

Wajahnya bersih dan sangat ceria di balik jilbab putih mungilnya. Kedua tangannya memegang erat-erat tangan Ayah dan Ibunya, dan kelihatan sekali ia berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah kedua orangtuanya. Padahal kalau mau, bisa saja ia bebas berjalan sekehendak kakinya. Karena ia satu-satunya yang dapat melihat. Namun sikapnya nyaris mirip seperti orang buta juga jika kita tidak memperhatikan wajahnya. Tapi, anak itu rela berjalan dibawah bimbingan Ayahnya yang terbata-bata menyusuri peron.

Orang-orang ada geleng-geleng kepala, ada yang berdecak kagum entah pada ayahnya, anak atau Ibunya, ada juga yang hanya melihat dalam diam. Tak ada yang berkata-kata atau kasak-kusuk karena apa yang kami lihat mugkin tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Sampai kereta berjalan, pandangan mata kami semua seperti tak ingin lepas dari mereka. Entah apa yang kami rasakan. Mungkin seperti setetes embun pagi yang menyentuh kulit. Tapi ini bukan embun sebenarnya, tetapi kesejukkan terasa sampai ke dalam hati.

Banyak yang dapat saya peroleh dari pemandangan itu. Yang pertama tentu Kebesaran Allah. Siapa yang sanggup menyatukan dua manusia buta menjadi satu keluarga kalau bukan Ia. Dan si anak kecil yang lucu dan menyenangkan itu , tapi tak dapat dilihat oleh orang tuanya, adalah Rahmat bagi mereka. Keikhlasan sang Ayah dan Ibu tentu akan melahirkan anak yang juga memiliki keikhlasan yang sama. Siapa sih yang ingin dilahirkan dari sepasang orang tua yang buta. Yang jangankan mengajarkan tentang ini dan itu dalam kehidupan baru kita, karena melihat saja mereka tak bisa.

Terbayangkah dibenak kita, masa kecil yang penuh dengan rasa ingin tahu dan orang yang paling dekat dengan kita tak bisa dengan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kita?
"Ayah itu hewan apa?" atau "Ibu kalau ini apa?" atau .... Terus terang saya kagum dengan anak itu (mugkin karena saya juga anak). Fitrahnya yang masih bersih tercermin dari perilakunya . Saya juga kagum dengan sang Ayah, karena ia dengan segala keterbatasannya tetap menjadi pemimpin. Dan saya juga kagum dengan Ibu, karena ia berhasil membesarkan anak menjadi seperti itu juga dalam keterbatasannya.

Saya pikir, hati mereka terbuat dari 'bahan baku' yang tidak sama dengan hati yang dimiliki orang kebanyakan yang normal. Karena kita yang masih dikaruniai kesempurnaan mata masih sering kali mengeluh dan kurang ikhlas dengan apa yang Allah beri.

--------------------------

-----------------------------------------------------------------------------------
(Diambil dari tulisan Siswati, milis DKM AN-Nahl)

0 Responses to “ Subhanaalloh Anak itu ... ”

Posting Komentar

Jangan Lupa Komentarnya, mohon jangan spam karena akan saya hapus! Dan tunggu komentar balik dari saya