Kamis, Agustus 04, 2011
Esai Kehidupan 23
Do you like this story?
Esai Kehidupan 23. Banyak sesuatu yang kita lakukan, tetapi kadang kita tidak sadar akan fadhilah dan kegunaannya. Semua berlindung dibalik bilik rutinitas. Atau lebih ndakik lagi berhujjah: ngilmunya begitu. Nggak kurang, nggak lebih. Nggak mau nambahi maupun ngurangi. Takut dosa. Dan alasan lain yang akhirnya menjadi awan penghalang pemahaman yang lebih dalam. Padahal tujuan kita adalah menjadi orang yang faqih. Jangan sampai kita menyesal karena merasa hal itu tidak pernah disampaikan. Seperti lelucon di bawah ini.
Keledai Nasrudin jatuh sakit, karenanya ia meminjam seekor kuda kepada tetangganya. Kuda itu besar dan kuat serta kencang larinya. Begitu Nasrudin menaikinya, ia langsung melesat secepat kilat, sementara Nasrudin berpegangan di atasnya, ketakutan. Nasrudin mencoba membelokkan arah kuda. Tapi sia-sia. Kuda itu lari lebih kencang lagi.
Beberapa teman Nasrudin yang melihatnya, mengira sedang ada sesuatu yang penting. Mereka berteriak, "Ada apa Nasrudin ? Mau ke mana engkau ? Mengapa terburu-buru?”
Nasrudin balas berteriak, "Saya tidak tahu! Binatang ini tidak mengatakannya kepadaku !"
Jadi jangan banyak berharap sesuatu itu datang dengan sendirinya, tanpa usaha dan upadaya. Sebab pada dasarnya kepahaman sendiri didapat dengan cara mencarinya. Tidak dengan berpangku tangan. Menunggu kuda berbicara.
Setiap habis sholat fardhu, setiap muslim biasanya membaca tasbih, tahmid dan takbir. Orang biasanya menyebut wirid. Ada yang 10 – 10, ada yang 33 – 33. Tetapi pernahkah kita berpikir, kenapa kalimat itu yang dipilih Rasulullah SAW untuk diamalkan? Kenapa tidak yang lain? Mudah-mudahan tidak ada yang langsung menghadang dengan stempel penghakiman: itu ro’yu. It’s fine. Namun seperti layaknya mencari jalannya syukur, dalam hal ini kita berharap juga bisa mengkaji lebih jauh kalimat tersebut dalam keseharian kita untuk manfaat yang lebih besar tentunya, yaitu menguak tabir jalan menuju kebahagiaan. Jalan menuju rela memaafkan.
Mari kita renungkan kata Subhanallaah - Maha Suci Allah. Allahlah yang tersuci, nggak punya salah, nggak punya cela, nggak lupa. Perfect. Sementara itu manusia adalah tempat kesalahan, ketercelaan dan kealpaan. Nggak perfect. Meresapi kalimat tasbih ini, seharusnya membuka hati kita untuk menjadi pemaaf. Memahami kesucian, akan melunturkan keangkuhan hati kita. Sebab kesucian itu hanya punya Allah. Kesempurnaan itu adalah milikNya. Yang Maha Sempurna adalah Allah. Sedangkan manusia itu adalah makhluknya. Jadi dia tidak akan bisa menyamaiNya. Manusia itu tidak sempurna. Jadi sebagian orang mengatakan; kesempurnaan manusia terletak pada ketidaksempurnaannya. Kalau ada manusia yang sempurna, berarti dia bukan manusia atau kita yang salah melihat. Dengan memahami konsep ini, hati kita akan selalu terbuka untuk memaafkan orang lain. Gampang memaafkan. Nggak bencian. Rela. Lilo legowo. Bahkan memampukan memaafkan sebelum dimintai maaf. Simaklah surat Ali Imron ayat 191 berikut; "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jagalah kami dari siksa neraka.
Bernie Siegel dalam karya best seller-nya yang berjudul Love, Medicine and Miracles mengajukan sebuah bukti meyakinkan. Sebagaimana ia tulis secara amat percaya diri di halaman 202 bukunya, Siegel telah mengkoleksi 57 kasus keajaiban kanker. Di mana ke lima puluh tujuh orang ini sudah positif terkena kanker, dan begitu mereka menghentikan secara total dan radikal kebencian, depresinya menurun drastis, dan yang paling penting tumornya mulai menyusut. Sebagai kesimpulan, Siegel menulis : ‘when you give love, you receive it at the same time. And letting go of the past and forgiving everyone and everything sure helps you not to be afraid’. Ketika Anda memberi maaf, Anda juga menerimanya pada saat yang sama. Dan kesediaan untuk melepas masa lalu dengan cara memaafkan, secara meyakinkan membantu Anda keluar dari kekhawatiran.
Pernahkah kita menyadarinya? Bahwa kita dibimbing agar menjadi insan yang nyegoro – penuh maaf dengan memahami bacaan tasbih yang kita baca setiap habis sholat. Kita dituntun setiap hari. Kita mengakui bahwa Allahlah Yang Maha Suci dan makhluknya itu tidak suci. Dengan demikian kita diajar menjadi insan yang paripurna. Mengetahui mana yang hak mana yang batil, yang asli dan mana yang palsu. Inilah kunci rahasia kebahagiaan dibalik kalimat tasbih yang kita baca sehari minimal 165 kali.
Sudahkah kita meresapinya? Bahkan telah mengimplementasikannya dalam setiap gerak langkah hidup kita? Sebagai buah dari hikmah pemahaman yang Allah berikan kepada kita? Allohumma aatinal hikmah.....
Kalau kita sadar, sebenarnya kita dituntun menjadi orang yang banyak syukur. Kita dididik menjadi ahli syukur, pinter syukur. Coba kita renungkan kembali kalimat Alhamdulillah yang kita baca sehabis sholat. Berapa kali kita baca? Sebanyak 33 kali sehabis sholat. Artinya secara lisan kita dilatih mengucapkan syukur kepada Allah – dengan mengucap kalimat Alhamdulillah - segala puji bagi Allah. Nah, ini adalah pranata yang kita tunaikan setiap hari.
Nah, mendalami tahmid ini membukakan satu lagi pintu rahasia menggapai kebahagiaan. Yaitu mensyukuri setiap pemberian yang Allah berikan kepada kita. Mensyukuri setiap keadaan yang kita temui dalam kehidupan ini. Orang yang bahagia adalah orang yang senantiasa mengucapkan syukur Alhamdulillah. Dimulai dari ucapan kemudian ke perbuatan. Bersyukur setiap waktu. Menikmati hidup ini. Seberat apapun hari yang kita alami pasti ada nikmat yang bisa kita syukuri di dalamnya. Jangan pernah menyerah untuk menjadi orang yang banyak syukur. Jangan sampai tertutup nikmat Allah yang diberikan ke kita oleh yang lain.
Hidup banyak digambarkan seperti air mengalir. Dari semenjak jatuh dari langit lewat awan hujan, air berjalan mencari sungai sebagai induknya. Di sungai air terus mengalir dari hulu ke hilir. Tak pernah berhenti. Ada kalanya dia berguling ke kiri dan ke kanan. Sebelah pinggir kanan kali bernama kesenangan, sebelahnya lagi bernama kesedihan. Sebagaimana kehidupan yang sebenarnya, ada saatnya kita terhenti di pinggir kali kesenangan, ada kalanya terhenti di pinggir kali kesedihan. Apapun nama dan jenis pinggir kalinya, tidak perduli kita sedang senang atau sedih, laju kehidupan akan senantiasa berjalan. Sehingga, siapa saja yang memusatkan perhatian pada pemberhentian sementara di pinggir kali (dunia), ia pasti tidak puas. Ia tidak bahagia. Sebab, pinggiran kali hanyalah bentuk lain dari kesementaraan. Keabadian dalam bentuk kesyukuran ada dalam kenikmatan untuk mengalir dengan sang perubahan yaitu qodar Allah, hingga akhirnya berujung di laut biru akhir kehidupan.
Sebuah cerita inspiratif berikut ini patut dijadikan acuan sebagai bentuk pemahaman kesyukuran terhadap hidup dan kehidupan serta bagaimana memainkannya. Suatu ketika seorang Ibu berniat pergi mengunjungi putranya di pulau seberang. Dipilihlah kapal laut sebagai mode transportasinya. Namun, malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Di tengah perjalanan datanglah cuaca buruk dan badai sehingga kapal yang ditumpangi si Ibu tersebut tenggelam. Alih – alih panik melihat situasi yang terjadi, si Ibu terlihat tenang dan penuh senyum menghadapi situasi yang terjadi. Ketika penumpang yang lain berebut menyelamatkan diri, si Ibu tetap tegar. Akhirnya si Ibu selamat setelah terombang – ambing di laut selama sepekan, dengan bergantung pada sebilah papan. Merasa penasaran dengan ketenangan si Ibu ini dalam menghadapai situasi yang genting, salah seorang regu penolong bertanya, ” Apa yang membuat ibu bisa bertahan menghadapi cuaca sangat buruk seperti ini?”
”Begini, saya punya dua putra. Yang satu sudah meninggal dan satunya lagi tinggal di seberang. Jika dalam perjalanan saya ini akhirnya saya mati, maka saya akan bersyukur dan berbahagia sebab saya segera menyusul anak saya di surga. Sedangkan bila saya selamat sampai ke seberang, maka saya pun bersyukur dan berbahagia karena akan bertemu dengan anak saya di sana,” kata si Ibu membuka rahasianya.
Dari keadaan dengan pilihan yang mengancam nyawa pun, masih ada celah untuk menegakkan kebaikan dan bersyukur di dalamnya. Nah, bagaimana dengan situasi yang lain, cerita berikut boleh ditiru.
Suatu hari Syaqiq al-Balkhi bertanya kepada Ibrahim bin Adham, ''Bagaimana model kehidupan Anda?''
Ibrahim menjawab, ''Jika kami memperoleh rezeki kami bersyukur, jika tidak maka kami bersabar.''
''Itu sama halnya dengan kebiasaan anjing-anjing di Khurasan,'' timpal Syaqiq.
Ibrahim terhenyak dan kemudian bertanya, ''Memangnya bagaimana model kehidupan Anda?''
Syaqiq menjawab, ''Jika kami mendapat rezeki, maka kami dermakan, jika tidak maka kami bersyukur.'' (Kisah dalam kitab Nafahat al-Uns).
Nah, model – model seperti inilah yang perlu dihayati dan dimaknai dalam rangka memperoleh hidup penuh kesyukuran dan kebahagiaan. Dan mulailah dengan meresapi dan menghayati setiap kalimat tahmid yang kita ucapkan setiap hari. Sebagai pembanding simaklah firman Allah dalam surat Yunus ayat 10 berikut ini;
Do'a mereka di dalam surga ialah: "Subhaanakallaahumma", dan salam penghormatan mereka ialah: "Salam". Dan penutup doa mereka ialah: "Alhamdulilaahi Rabbil 'aalamin".
Mungkin, sekarang bertambah luas wawasan kita dalam memaknai lebih dalam lagi dibalik tabir kefadholan tasbih dan tahmid yang mungkin sudah kita mafhum. Mereka bukan hanya sekedar pemanis sholat, buah bibir wirid, pajangan tangan ataupun pembuka dan penutup doa. Lebih dari sekedar pahala dan pahala, ada kemanfaatan yang luar biasa bersamanya, bagi yang diberi keutamaan tentunya.
Sungguh amat berbeda arti menyederhanakan dan mengecilkan. Namun, banyak orang yang masih menyamakan arti menyederhanakan dan mengecilkan. Padahal sebenarnya sangat jauh berbeda arti dan maknanya. Pada banyak kasus di dalam kehidupan dunia ini, kerap terjadi prahara karena orang terlalu mengecilkan masalah. Menganggap sepele hal yang kecil. Menganggap renik hal yang sepele. Lihatlah kembali kasus jebolnya Situ Gintung. Banyak yang tidak peduli ketika sudah ada tanda – tanda dinding situ rembes. Laporan warga yang peduli dianggap angin lalu. Malah dicurigai orang yang iri. Banyak yang tidak care ketika badan situ tertutup oleh rumah dan peruntukan lain. Dan baru terasa ketika akhirnya dinding situ jebol dan menelan banyak korban jiwa. Laksana bah, tsunami kedua setelah Aceh. Harta, benda dan nyawa tak terbilang hilang karenanya. Orang pun banyak yang berduka. Saling tuding, saling menyalahkan. Ujung - ujungnya sejatinya cuma satu karena mengecilkan masalah. Rembes itu mah sudah biasa, udah dari dulu. Kemarin malah ada laporan bocor. Kriwikan dadi grojogan.
Berbeda dengan mengecilkan, menyederhanakan adalah membuat yang rumit menjadi mudah. Menyederhanakan adalah membuat yang njlimet menjadi terang dimengerti. Menyederhanakan adalah membuat yang ruwet menjadi terurai, tak kusut lagi. Membuat yang membingungkan menjadi mudah dipahami. Menyederhanakan adalah membuat sesuatu bisa berjalan walau dengan cara dan kualitas yang berbeda, akan tetapi esensinya sama sehingga tujuan berhasil. Seperti kata pepatah; tak ada rotan akarpun jadi. Nggak ada mobil, ya naik motor. Nggak ada motor ya naik sepeda. Kalau nggak ada sepeda ya jalan kaki. Kalau nggak bisa jalan ya ngesot, dst hingga sampai pada tujuan. Contoh lagi, kalau nggak bisa sholat berdiri ya sambil duduk. Kalau dengan duduk juga belum bisa, ya sambil berbaring. Dengan berbaring masih nggak mampu yang dengan isyarat. Jika dengan isyarat ternyata tidak bisa juga, maka sudah sepantasnya disholati. Orang yang menyederhanakan punya energi positif untuk menyelesaikan masalah, meraih tujuan dan perhatian dengan langkah yang ditempuh, meski dengan beribu cara. Sedangkan mengecilkan mengandung energi negatif yang cenderung mengabaikan, melupakan dan meninggalkan masalah. Akibatnya, masalah itu membesar dan akhirnya tak tertangani.
Sebagai muslim, sebenarnya kita telah dilatih dengan rancak lagi titis, bagaimana menyederhanakan masalah. Sebagai orang iman, kita dilatih untuk tidak membesar – besarkan masalah. Coba renungkan kalimat Allahu akbar sebagai bagian terakhir dari rangkaian bacaan tasbih dan tahmid sehabis sholat. Allah Maha Besar. Kita akan merasa bahwa hanya Allahlah yang Maha Besar. Hanya urusan kepada Allahlah yang paling besar. Urusan akhirat. Selain itu adalah masalah kecil. Ingat cantolan; beli kerbau dapat talinya. Atau beli tempat tidur dapat kolongnya. Ini adalah gandengan yang tidak bisa dipungkiri. Benar adanya. Inilah proses pemahaman penyederhanaan hidup. Inilah hakiki kehidupan. Tidak mungkin seseorang beli kolong, untuk sebuah tempat tidur.
Masih banyak orang yang menganggap urusan dunia ini sebagai masalah yang besar. Masalah yang pol, sehingga kalau tidak berhasil rasanya seperti habis sudah riwayatnya. Banyak hal-hal yang dipusingkan setiap hari sebenarnya adalah masalah-masalah yang sederhana, kecil bahkan sepele. Masalah-masalah cepil, meminjam istilah anak saya, bahkan tidak akan pernah kita ingat lagi satu tahun dari sekarang. Dengan mempunyai pendirian bahwa semua urusan dunia itu adalah urusan kecil, yang besar adalah hanya urusan kepada Allah, tentu langkah kita menjadi ringan dan ibadah kita menjadi semakin mendalam. Walhasil kebahagiaan akan datang dan turun menyirami jiwa - raga kita, seperti turunnya embun di pagi hari. Tanpa diminta, tanpa dicari, ketika fajar menyingsing, embun beriring menyirami seisi bumi.
Inilah kunci ketiga kebahagiaan yaitu menyederhanakan masalah dengan memahami bahwa urusan dunia itu urusan yang kecil, sehingga tidak perlu membesar-besarkan hal-hal kecil tadi. Awas jangan terkecoh dengan mengecilkan masalah. Sebab sesungguhnya hidup itu sederhana, tetapi banyak orang yang merasa kesulitan bagaimana untuk menyederhanakan hidup. Inilah tantangan kita. Dalam surat Ghofir ayat 57 Allah berfirman: Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi itu lebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Semoga Allah memberi keluasan dan kemampuan kepada kita semua untuk mengetahui dan memahami firmanNya dengan paripurna. Amin.
Oleh :Ustadz.Faizunal Abdillah
Esai Kehidupan 23
This post was written by: Author Name
Author description goes here. Author description goes here. Follow him on
Twitter
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
1 Responses to “ Esai Kehidupan 23 ”
4 Agustus 2011 pukul 20.01 Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Posting Komentar
Jangan Lupa Komentarnya, mohon jangan spam karena akan saya hapus! Dan tunggu komentar balik dari saya